Rolling text
Senin, 14 Februari 2011
Lika Liku PPN mobkas
Dasar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan kendaraan bermotor bekas telah berubah beberapa kali. Mulai dari penggunaan mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) harga jual, kemudian berganti dengan DPP nilai lain, hingga kemudian kembali diubah dengan menggunakan harga jual. Meski kembali ke harga jual, mekanisme penghitungan PPN yang wajib disetor tidak menggunakan mekanisme normal, melainkan menggunakan pedoman Penghitungan Pengkreditan (Deemed) Pajak masukan.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan Zaman, usaha perdagangan kendaraan bermotor bekas sekarang ini dinilai cukup menjanjikan. Hal ini terjadi karena tingkat kebutuhan masyarakat akan kendaraan bermotor kian lama kian meningkat. Ya, memiliki kendaraan pribadi saat ini bukan semata-mata untuk prestise atau kebanggaan saja.
Apalagi, jika melihat ketersediaan sarana transportasi umum yang kurang memadai, membuat sebagian orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Inilah yang kemudian mendorong orang untuk memiliki kendaraan pribadi, baik dengan cara membeli kendaraan bermotor baru ataupun kendaraan bermotor bekas, toh manfaatnya sama saja.
Membeli kendaraan secondhand adalah salah satu cara untuk memperoleh kendaraan yang bagus namun murah. Para pengusaha melihat adanya peluang besar di bisnis ini,sehingga usaha jual beli kendaraan bermotor bekas pun banyak bermunculan. Ada banyak pedagang kendaraan bermotor bekas yang dapat kita temui di jakarta, seperti di kawasan kemayoran,kelapa gading, Mangga Dua, atau di bilangan fatmawati.
Tetapi sadarkah anda, meski ada membeli kendaraan bekas, tetap ada PPN-nya? Benarkah kendaraan montor beas adalah Barang kena pajak (BKP)? Apa dasar hukum yang terkait dengan pengenaan PPN terhadap kegiatan jual beli kendaraan bermotor bekas? Untuk memenuhi rasa ingin tahu pembaca mengenai hal ini, tulisan ini akan mengurai jawaban dari sejumlah pertanyaan di atas.
Pernah Tidak Kena PPN
Bila kita merunut perjalanan Undang -undang (UU)PPN sejak tahun 1983 (UU Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak penjualan atas Barang Mewah) hingga kini, kita bisa menemukan jejak pengenaan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas. Objek PPN yang satu ini mulai dipungut sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1994 yang merupakan amendemen pertama UU PPN.
Ketika UU Nomor 8 tahun 1983 masih berlaku ,PPN memang tidak dikenakan atas penyerahan kenderaan bermotor bekas kepada konsumen. Hal ini dikarenakan sempitnya ruang lingkup penyerahan BKP yang diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1983 ini. Penyerahan BKP hanya dapat dikenakan PPN sepanjang penyerahan tersebut di lakukan oleh pengusaha yang memenuhi kriteria saja.
Oleh karena itu, penyerahan kendaraan bermontor bekas di awal pemberlakuan PPN tidak termasuk sebagai penyerahan BKP yang terutang PPN. Pasalnya, pedagang yang menjual kendaraan bermontor bekas, bukan merupakan pengusaha yang menghasilkan BKP atau bukan pula pengusaha yang bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama. Di sini, dapat dikatakan bahwa pedagang kendaraan bermotor bekas sama dengan pedagang eceran.
Kemudian setelah dilakukan amendemen pertama UU PPN,yakni diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1994, Objek PPN tidak hanya terbatas pada penyerahan BKP yang terjadi karena adanya kegiatan penyerahan langsung dari pihak yang menghasilkan BKP atau impor BKP. Akan tetapi, meliputi pula penyerahan BKP yang di lakukan oleh pengusaha, baik yang berkaitan langsung dengan kegiatan usahanya ataupun tidak.
Dengan tidak adanya batasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan perdagangan kendaraan bermontor bekas merupakan salah satu penyerahan BKP yang terutang PPN. Dengan demikian, sejak diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1994, pedagang kendaraan bermotor bekas harus memungut PPN kepada konsumen atas kegiatan tersebut.
Hingga saat ini, meskipun telah dilakukan amendemen UU PPN untuk ketiga kalinya (UU No. 11 Tahun 1994, UU No. 18 tahun 2000, dan UU No. 42 tahun 2009), tidak ada lagi perubahan terkait dengan ruang lingkup Objek PPN atas penyerahan BKP (lihat gambar terlampir).
Mekanisme Pengenaan PPN
Sejak kendaraan bermotor bekas diberlakukan sebagai objek PPN per Januari 1995, maka pengusaha kendaraan bermotor bekas harus memungut PPN yang terutang sebesar DPP sesuai harga jual dikali dengan tarif 10%. Kemudian, PPN yang harus disetor ke kas negara oleh PKP pedagan kendaraan bermotor bekas dihitung dengan menggunakan mekanisme credit methode atau mekanisme Pajak Keluaran dikurang Pajak Masukan (PK-PM). Melalui mekanisme PK-PM ini, pengusaha dapat mengkreditkan seluruh nilai Pajak Masukan yang berkaitan dengan semua kegiatan usaha terhadap pajak keluaran, untuk menentukan besarnya PPN yang disetorkan ke negara.
Penggunaan dasar pengenaan PPN sesuai harga jual mulai diberlakukan sejak 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2000 atau lebih tepatnya diberlakukan hingga terbit KMK Nomor: 567/KMK.04/2000. Ketika KMK tersebut diberlakukan, yakni pada 1 Januari 2001 bersamaan dengan UU nomor 18 Tahun 2000 mulai diberlakukan terdapat perubahan besarnya DPP untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas. Dari sebelumnya menggunakan harga jual, kemudian diubah menjadi nilai lain.
Nilai lain yang dijadikan sebagai DPP PPN secara jelas diatur dalam KMK Nomor 567/KMK.04/2000. Dalam Pasal 2 dalam KMK tersebut dinyatakan, bahwa nilai lain untuk kendaraan bermotor bekas adalah sebesar 10% dari harga jual.
Dengan kata lain, besarnya PPN yang dibebankan pada konsumen hanya sebesar 1% dan PKP juga harus menyetorkan PPN yang telah dipungutnya kepada negara sebesar 1%. akibat diberlakukannya nilai lain ini, pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat dikreditkan, karena dalam nilai lain tersebut telah memperhitungkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka usaha tersebut.
Nilai lain yang digunakan untuk menghitung DPP PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas berlaku sampai dengan terbitnya PMK Nomor :79/PMK/.03/2010. Sejak PMK tersebut mulai diberlakukan per 1 April 2010, mekanisme DPP nilai lain tidak lagi digunakan.
PMK Nomor: 79/PMK.03/2010 mengatur bahwa DPP yang digunakan pengusaha kendaraan bermotor bekas yang dalam PMK tersebut dinyatakan sebagai pengusaha yang menjalankan kegiatan usaha tertentu kembali menggunakan nilai harga jual kendaraan bermotor bekas.
Berdasarkan PMK tersebut, Pajak Masukan dari hasil perolehan kendaraan bermotor bekas dan terkait dengan kegiatan usaha dapat dikreditkan untuk menghitung besarnya PPN yang harus disetor ke negara. Namun, besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan tidak sama dengan ketika penghitungan PPN menggunakan mekanisme PK-PM sesuai UU Nomor 11 Tahun 1994, karena dalam periode kali ini Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan atau biasa dikenal dengan Deemed Pajak Masukan.
Dalam PMK nomor:79/PMK.03/2010, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan telah di-Deemed, yakni sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetorkan oleh pengusaha ke kas negara adalah sebesar 10% dari Pajak Keluarannya.
Dengan adanya perubahan dalam penetapan DPP, yaitu dari nilai lain ketika masih menggunakan KMK Nomor 567/KMK.04/2000, menjadi harga jual sesuai PMK Nomor:79/PMK/2010, maka besarnya PPN terutang yang dibebankan kepada konsumen pun akan berubah. Untuk lebih jelasnya lihat contoh di bawah :
Perbandingan antara DPP nilai lain dengan DPP Harga Jual
PT. HAN Motor, dealer mobil bekas menjual sedan BMW 318i tahun 2007. Harga jual mobil tersbut sebesar Rp. 80.000.000,00. PPN terutangnya adalah sbb.;
Jawab :
Penghitungan PPN atas penyerahan kendaraan motor bekas berdasarkan :
a. Nilai lain sesuai PMK nomor 567/KMK.04/2000
DPP = Nilai Lain
= 10% x Harga Jual
= 10% x Rp. 80.000.000,000
= Rp. 8.000.000,00
Maka PPN yang harus dibayarkan oleh pembeli kendaraan bermotor bekas adalah sebesar :
PPN = 10% x Rp. 8.000.000,00
= Rp. 800.000,00
b. Harga jual kendaraaan bermotor bekas sesuai dengan PMK Nomor: 79/KMK.03/2010
DPP = Harga Jual
= Rp. 80.000.000,00
Maka PPN yang harus dibayarkan oleh konsumen atas pembelian kendaraan bermotor bekas dari PKP sebesar :
PPN = 10% x Rp. 80.000.000,00
= Rp. 8.000.000,00
Jika kita lihat dan perhatikan perhitungan di atas, sangat jauh sekali selisih/perbedaannya bukan. Tentu perbedaaan ini akan mempengaruhi besarnya PPN yang harus dikeluarkan oleh pembeli dan PPN yang disetor oleh PKP penjual kendaraan bermotor bekas ke negara. Jika menggunakan DPP nilai lain, konsumen lah yang diuntungkan karena pembebanan pajaknya hanya 1% dari harga jual. Sementara penjual kendaraan bermotor bekas tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas penyerahan kendaraan bermotor bekas yang ia jual.
Sedangkan jika DPP ditentukan dari harga jual, maka beban paling besar dipikul oleh pembeli kendaraaan bermotor bekas yang mencapai 90% lebih tinggi, yaitu sebesar 10% dari harga jual dalam perolehan kendaraan bermotor bekas. Sementara itu, pengusaha kendaraan bermotor bekas akan menikmati keuntungan sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Penerapan aturan ini sangat terasa oleh pengusaha kendaraaan bermotor bekas karena Pajak Masukan yang berkaitan dengan kegiatan usaha dapat dikreditkan guna menentukan besaran PPN yang akan disetor ke kas negara.
Dengan semakin tinggi PPN yang dibebankan kepada konsumen, maka akan semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk memperoleh kendaraan bermotor bekas idamannya. Dengan demikian, ada baiknya juga pengusaha kendaraan bermotor bekas mengakali dalam hal penetapan harga jualnua agar konsumen tidak terlalu berat dengan besarnya PPN yang dibebankan kepadanya. Mungkin bisa disarankan kepada PKP penjual kendaraan bermotor bekas dapat mengakali harga jual kendaraan bermotor bekasnya sudah termasuk PPN.
Penutup
Tingkat kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi di Ibukota jakarta pada khususnya semakin hari semakin meningkat. Sarana transportasi yang disediakan pemerintah pun nampaknya tidak bisa memenuhi kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan para pengguna jasa transportasi. Ditambah lagi pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi tidak selaju dengan perluasan median jalan di Ibukota yang hanya sebesar 1% per tahunnya.
Jika pada tahun 1995 mekanisme pengenaan PPN untuk kendaraan bermotor bekas menggunakan mekanisme PPN normal, maka setelah diberlakukannya KMK Nomor 567/PMK.04/2000, PPN dihitung dengan menggunakan mekanisme nilai lain. Kini KMK nomor 567/PMK.04/2000 telah digantikan dengan PMK nomor: 79/PMK.03/2010 dimana PPN yang berlaku atas penyerahan kendaraan bermotor bekas adalah mekanisme Deemed Pajak Masukan.
Jika ditilik, diteliti, dan diamati lebih lanjut mengenai perubahan peraturan ini nampaknya aturan ini diberlakukan untuk mengurangi kemacetan akibat penggunaan kendaraan pribadi yang begitu besar jumlahnya.
Ya memang sebuah kebijakan pasti menuai pro dan kontra, tergantung bagaimana kebijakan itu terbentuk dan bagaimana kita menyikapinya? bagi pengguna jasa transportasi umum, akankah tetap menggunakan sarana transportasi umum yang sangat jauh dari nyaman dan aman, ataukah beralih menggunakan kendaraan pribadi, baik beli secara bekas maupun baru? sebaliknya, bagi yang ingin membeli kendaraan bermotor bekas konsekuensinya anda harus membayar lebih PPN lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya ataukah beralih menggunakan sarana transportasi umum seperti Busway misalnya? eehheemmmmm...... itu tergantung pilihan anda.
Salam hangat,
Uge Kurniawan
Sebagian artikel dikutip dari : ITR Magazine Volume III/edisi 20/2010
Minggu, 13 Februari 2011
Seputar ISP AHA from BConn
Pada kesempatan posting blog kali ini saya ingin share mengenai kualitas jaringan AHA dari BConn(baca; Bakrie Connectivity).
Satu lagi pendatang baru di dunia ISP (Internet Service Provider)dari BConn.
Esia lagi-lagi mengeluarkan produk barunya dalam menyediakan layanan internet berbasis CDMA. Mengusung tagline AHA (baca; Affordable Highspeed Access)nampaknya Bakrie sangat pede dengan gembar-gembor iklannya yang mengklaim mampu mencapai kecepatan berselancar internet hingga 3.1mbps.
Sedikit mengulas mengenai beberapa teknologi jaringan yang berbasis GSM ataupun CDMA yang saya dapat setelah beberapa kali googling.
Pasca boomingnya teknologi 3G yang mulai dinikmati oleh masyarakat Indonesia meski hanya sebagian di beberapa kota besar saja, muncul teknologi baru bernama HSDPA (High Speed Downlink Packet Access). Teknologi ini mengusung kecepatan akses data hingga mencapai 3.2mbps. Teknologi ini kemudian terus bersaing dengan rivalnya, CDMA yang sudah mempunyai teknologi EVDO (Evolution Data only). Sebelumnya sudah ada 2 pemain CDMA yang menggelar teknologi berbasis EVDO ini yaitu Indosat dengan Star one nya dan Mobile 8 dengan FREN nya. Lalu bagaimana dengan bakrie?, setelah sempat menyatakan pernyataan mundur dari EVDO karena masalah regulasi kini bakrie connectivity melalui esia nya mulai kembali bersaing dalam pelayanan akses internet.
Dalam postingan ini saya hanya mencoba mengulas tentang semua yang berhubungan dengan AHA karena baru ini pengalaman kali pertama menggunakan internet berbayar setelah sebelumnya tidak pernah sedikitpun mengeluarkan biaya untuk berselancar di dunia maya :D :P.
Terhitung sejak awal tahun 2011 setelah melihat iklan yang digembar gemborkan oleh pihak bakrie mengenai koneksi internet dengan teknologi EVDO nya mencapai kecepatan hingga 3.1mbps akhirnya saya memutuskan untuk membeli paket Modem USB AHA yang ditebus seharga Rp. 500 ribu (sudah berikut modem usb, paket perdana AHA). Ada beberapa pertimbangan saya dalam memilih menggunakan AHA salah satunya kemudahan dalam bermigrasi ke semua paket unlimitednya walaupun fair usage policy nya masih tergolong mahal untuk time based di banderol seharga Rp.150/menit (atau Rp. 9000/jam). Setelah menggunakan AHA, benar saja koneksi internet saya bisa mencapai 3.1mbps pada jaringan EVDO, kebetulan lokasi tempat tinggal saya di daerah jakarta pusat. Di tempat saya sendiri sinyal EVDO full saya dapat. Untuk pertama kali saya colok di laptop dan saya coba untuk mendownload file sebesar 4MB hanya membutuhkan kurang dari 10detik saja, saya pun sempat kaget melihat kecepatan download nya yang begitu cepat.
Paket perdana AHA termasuk promo unlimited speed up to 3.1mbps selama 2bulan pada jaringan EVDO(non-CDMA 1x).
Saya kira cukup promosinya, mari kita tengok kekurangannya.
Kecepatan 3.1mbps hanya didapat pada jaringan EVDO saja, bagi yang hanya mendapat jaringan CDMA 1X silahkan anda menggigit jari, jangankan speed 3.1mbps, speed 153,6kbps pun super lemot bahkan pernah saya coba untuk buka Facebok saja bisa memakan waktu hingga hampir setengah jam di waktu waktu tertentu.
Hal ini saya alami ketika melakukan perjalan ke Jawa Tengah. Dalam perjalanan menggunakan bus di daerah losari-tegal hingga pekalongan modem AHA hanya mendapat jaringan CDMA 1X saja, jangan harap dapat area EVDO karena EVDO AHA hanya terdapat di beberapa kota besar saja seperti Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Surabaya, Jogja, solo saja (AHA, untuk wilayah lainnya yang tercover area EVDO silahkan klik disini)
Sebagai ilustrasi dan bahan perbandingan saja,
Ada beberapa pilihan paket unlimited yang disediakan oleh AHA :
1. Paket ekonomis,
Harian dibanderol sebesar Rp. 4000/hari dan Rp. 80ribu/bulan dengan kecepatan hanya di 200kbps dengan(dengan jaringan EVDO)
2. Paket Dinamis,
Hariannya sebesar Rp. 6000/hari, Rp. 110ribu/bulan dengan kecepatan hingga 600kbos (dengan jaringan EVDO)
3. Paket Fantastis,
Ini dia paket yang dibanggakan AHA dengan kecepatan hingga mencapai 3.1mbps dibanderol seharga Rp. 10ribu/hari dan Rp. 200ribu/bulan
Khusus untuk paket 1 & 2 kecepatan bisa ditambah dengan kecepatan 3.1mbps, ini tentunya tidak didapat gratis dan harus menggunakan Speed booster yang dibanderol Rp.5000/hari untuk setiap tambahan tingkat kecepatannya.
Ke semua paket di atas kecepatan hanya berlaku pada jaringan EVDO saja, bagi yang hanya mendapat jaringan CDMA??? silahkan gigit jari saja lah karena speed hanya bisa dicapai pada level 153,6kbps saja tidak lebih. Nah, bagi anda yang ingin menggunakan AHA namun tempat tinggal anda hanya terdapat jaringan AHA CDMA saja saya sarankan untuk menggunakan paket ekonomis. Karena pada jaringan CDMA speed tercepatnya hanya pada kisaran 153,6kbps saja maka akan sangat disayangkan jika kita menggunakan paket dinamis atau bahkan fantastis. Jelas saja, kecepatan CDMA pun tidak bisa melewati kecepatan yang diterapkan dalam paket ekonomos yang speednya bisa mencapai 200kbps, ini jelas merugikan kita sebagai konsumen yang tidak dapat jaringan EVDO di wilayah tempat tinggalnya. :((
Update kemaren malam hingga detik ini saya lihat banyak yang mengeluhkan koneksi AHA yang menjadi lambat yang mungkin disebabkan mulai banyaknya pengguna yang menggunakan AHA sebagao koneksi internet pilihan mereka.
Dari sekelumit share di atas kiranya bisa saya tarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
AHA untuk saat ini recomended untuk pengguna yang berada pada wilayah jangkauan EVDO, dan jangan lupa, modem anda tidak hanya support koneksi CDMA saja melainkan harus support EVDO juga untuk bisa menikmati koneksi hingga 3.1mbps dari AHA.
AHa sangat fleksibel mulai dari paket unlimitednya hingga penggunaannya yang sangat user friendly.
Untuk pemula yang ingin menggunakan modem usb sebagai interface nya ini saran saya :
Bagi anda yang tempat tinggalnya tidak tercover jaringan 3G(GSM based) ataupun EVDO(CDMA based) silahkan sesuaikan budget anda pada berbagai paket unlimited yang disediakan oleh provider anda dan jika wilayah anda hanya mendapat jaringan CDMA/GPRS akan sangat sayang sekali jika anda membeli modem yang support EVDO/HSDPA.
Saya kira untuk semua akses internet wireless dengan media USB modem masih sangat terbatas. Mendapatkan sinyal dan jaringan EV-DO ternyata tidak mudah sebab selain tidak semua BTS sudah diupgrade untuk EV-DO, para operator CDMA di Indonesia masih berfikir dua kali lipat saat memutuskan untuk melakukan upgrade pada MSC. Maklum, investasinya cukup besar, sementara kultur masyarakat Indonesia masih belum paham dengan teknologi yang satu ini.
Yaah, lagi lagi soal investasi, besaran biaya dan mahalnya teknologi yang harus dibayar membuat koneksi internet di indonesia masih menjadi barang mahal dan belum semua masyarakatnya tercover dan terhubung dengan internet.
Minggu, 16 Januari 2011
Tahun Baru 2011
Terlalu sibuk dengan rutinitas sehari-hari, baru bisa posting kembali.
Rencana untuk merayakan tahun baru sudah kami rencanakan jauh-jauh hari. Pilihan pertama jatuh kepada obyek wisata Kepulauan Karimun Jawa yang terletak tidak jauh dari ujung dermaga Kartini, Jepara.
Berangkat dengan menggunakan sepeda motor kesayangan menuju jepara bersama istri memakan waktu sekitar 4 jam menempuh jarak lebih kurang 108km. Setibanya kami di dermaga Kartini disambut dengan sebuah patung seekor penyu raksasa. Bertanya kepada warga sekitar mengenai hal keberangkatan kapal menuju karimun jawa.
Tidak banyak pilihan transportasi untuk menuju kepulauan karimun, kita hanya bisa menggunakan sarana transportasi laut untuk menyebrang ke sana. Adalah KM. Kartini sarana transportasi yang bisa dipilih. Dibanderol seharga 80ribu rupiah untuk kelas eksekutif dewasa, sedangkan tarif bisnis berada pada kisaran harga 60ribu rupiah. Untuk detail harga nya silahkan di liat di FB saya.
Perjalanan jepara-karimun jika kita menggunakan armada KMC Kartini bisa ditempuh hanya sekitar 2 jam saja, namun jika memlih menggunakan armada KM Muria bisa mencapai 6 jam perjalanan namun kelebihan dari KM Muria bisa mengangkut mobil pribadi dan sepeda motor bagi yang ingin membawa kendaraannya menuju karimun.
Dikarenakan jadwal kapal yang tidak setiap waktu ada dan hanya ada 2 kapal yang bisa kita tumpangi terlalu sulit bagi kami untuk mengatur waktu dikarenakan istri harus sudah kembali bekerja pada tanggal 3 januari maka kami memutuskan alternatif objek wisata lain selain karimun jawa. Pilihan jatuh kepada objek wisata dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) kabupaten Wonosobo. Masih di sekitaran Jateng kami rasa cukup representatif dan tidak terlalu jauh jika ditempuh dari pekalongan.
Memerlukan waktu tempuh perjalanan menuju lokasi wisata Dieng Plateau dari Pekalongan sekitar 3 jam dengan jarak tempuh 104km (sedikit lebih dekat dengan jarak tempuh ke jepara). Perjalanan berangkat kami memilih untuk melewati kajen, wanayasa, batur dan seterusnya.
Banyak terdapat home stay di sana, ragam harga pun bervariasi mulai dari 75ribu-3,5juta rupiah per malam pada peak season. Semua homestay menawarkan fasilitasny masing-masing, namun yang paling umum di homestay dieng ini adalah fasilitas water heater(baca: pemanas air). Dikarenakan udara di sekitar dieng sangat dingin hingga mencapai 15-10 derajat celcius bahkan pada pertengahan tahun (juli-Agustus) bisa mencapai minus 2 derajat celcius sehingga water heater pun sangat dibutuhkan untuk keperluan mandi maupun berendam agar kondisi tubuh tidak serta merta terkena hypothermia bagi yang tidak terbiasa dengan cuaca dan udara dingin.
Banyak objek wisata di Dieng plateau yang bisa kita temukan diantaranya adalah Telaga warna : Danau vulkanik yang bisa memancarkan beberapa warna yang indah ketika terkena paparan teriknya sinar matahari.
Dieng Plateau Theatre : Theater mini yang menampilkan secara visualisasi sejarah terbentuknya dataran tinggi Dieng dengan durasi sekitar 20menit
komplek candi arjuna : terdapat beberapa candi bersejarah peninggalan zaman dahulu
Kawah Sikidang : Kawah vulkanik, banyak terdapat batuan belerang yang cocok digunakan sebagai perawatan kulit
Telaga Merdada : telaga seluas 15 hektar yang bisa kita kelilingin menggunakan sampan.
Dan beberapa objek wisata lainnya yang bisa kita kunjungi.
Pada tahun baru ini tiket untuk masuk 4kawasan wisata dieng dikenakan harga 20ribu/orang. Untuk objek wisata lainnya kita harus membayar lagi sebesar 5ribu/objek.
tanggal 1 januari kami putuskan untuk kembali pulang ke Pekalongan, namun kali ini kami mencoba untuk melalui Wonosobo, Temanggung, sukorejo, bandar, pekalongan. Mampir sebentar di alun-alun wonosobo untuk istirahat sejenak sambil menikmati mie ayam dan tertibnya alun-alun wonosobo. Jarak tempuh jika melalui jalur parakan-sukorejo-bandar dari wonosobo memang terlampau sangat jauh sekali terpaut hampir 70km lebih jauh dengan jalur Kajen.
Banyak pelajaran yang kami dapat di awal tahun 2011 ini. Ternyata masih banyak objek wisata di Indonesia yang sangat indah dan tak kalah dengan yang ada di belahan dunia manapun. Mari kita jaga dan lestarika kekayaan alam secara arif dan bijaksana.
Salam hangat backpacker,
Rabu, 12 Januari 2011
Fenomena Sarkawi
Sebagai pecinta bus (baca: bukan penggila bus) independent, kadar kecintaan saya terhadap armada Bus semakin menjadi ketika belum lama ini kenal dengan teman sekampus yang memang sudah lebih dulu menjadi penggila bus. Adalah Hendra yang akrab saya sering panggil beliau dengan sebutan Omhen. Persahabatan kami berlangsung sejak tahun 2008, hingga pada akhir 2008 kita turing bareng ke Kudus. Pada saat itu menggunakan armada Haryanto MB 1518 Selendang(kalo ga salah inget, dikarenakan pada saat itu belum memahami betul garapan karoseri apa dan mesin apa yang digunakan). Berlanjut sampai turing selanjutnya ke Jepara dengan menggunakan armada Shantika Pinky dari Lebak Bulus.
Tercatat beberapa P.O bus yang pernah saya pakai antara lain : Haryanto, Shantika, Sinar Jaya, Muji Jaya, OBL Safari Dharma Raya, Handoyo, Santoso, Dewi Sri, Sri Maju Prima, Harta Sanjaya, Tri Sumber Urip, Ramayana, COyo, Nusantara, Bejeu, Senja Furnindo, Safari, Selamet, Mulyo Indah,Tegal Indah, dan Bonanza
Ada hal yang menarik ketika saya mendengar salah satu istilah yang dalam dunia perbisan disebut dengan sebutan Sarkawi. Ya Sarkawi, adalah sebutan bagi para penumpang ilegal yang tidak memiliki dan atau membeli tiket secara resmi baik melalui agen ataupun calo.
Belum ada catatan pasti bagaimana Sarkawi ini terjadi, namun ada satu sumber artikel yang pernah saya baca melalui portal Bismania.com yang membahas mengenai Sarkawi.
Terjadi pada awal taun '80an tepatnya di Jalinsum ( Jalur Lintas Sumatra )dimana pada Jalinsum masih sepi kendaraan yang lalu lalang baik kendaraan lokal maupun kendaraan yang datang dari pulau jawa, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti bis AKAP. Alkisah konon katanya menurut sumber tersebut pada zaman itu ada sebuah Bus AKAP dari pulau jawa yang hendak menuju Aceh. Di tengah perjalanan Bus tersebut mengalami kerusakan yang tidak bisa diperbaiki dalam waktu singkat. Dan seperti kita ketahui pada era '80an kondisi Jalinsum masih sangat sepi dan harus menunggu beberapa rombongan bus yang melalui jalur yang sama untuk dapat meneruskan perjalanan dikarenakan Jalur Lintas sumatra masih sangat rawan perampokan dan penjegalan untuk dilalui oleh hanya satu kendaraan tanpa ada rombongan yang menyertainya. Pada waktu itu salah seorang penumpang yang nampaknya tidak bisa menunggu lama meminta awak bus untuk pindah ke armada bus lain yang kebetulan melintas. Pada saat yang bersamaan datang bus AKAP, dan akhirnya ia menumpang bus AKAP tersebut. Dikarenakan pada saat itu PO bus tidak memberlakukan kontrol tiket di beberapa pos kontrol secara ketat akhirnya penumpang tersebut lolos hingga sampai di kota tujuannya itu tanpa diketahui oleh pihak PO. Nama penumpang gelap tersebut diketahui bernama Pak Sarkawi hingga terkenal sampai sekarang.
Praktik Sarkawi tidaklah selalu membicarakan orang yang melakukan ataupun terlibat dalam praktik Sarkawi. Jika saya perhatikan lebih mendalam dan mendasar, praktik Sarkawi ini lebih merupakan suatu perbuatan/perilaku orang yang melakukannya (baca: bukan orangya). Mengapa? karena praktik sarkawi merupakan praktik yang sifatnya sistemik dan melibatkan kerjasama beberapa orang. Adapun pihak yang terlibat antara lain :
1. Driver (engkel maupun dengan 2 driver), dialah sebagai peran utama dalam praktik sarkawi ini, karena ia yang memegang penuh kendali bus. Lain dengan moda transportasi kereta api yang mempunyai seorang petugas pemimpin perjalanan dimana masinis hanya sebagai eksekutor seorang pemimpin perjalanan (kebetulan paman saya seorang pensiunan PJKA di Cirebon).
2. Kernet, dialah yang membantu seorang supir dalam melancarkan praktik sarkawi
3. Calon Penumpang, yang satu ini seringkali menjadi korban dengan sebutan sarkawi
4. Yang terakhir adalah Calo (optional), apabila praktik sarkawi ini difasilitasi dan atau di-perantara-i oleh seorang calo. Biasanya calo inilah yang membantu para calon sarkawi dalam mencarikan bus. Biasanya antara awak bus dengan calo sudah saling kenal satu sama lain dan kepercayaan seorang driver biasanya berujung pada calo tersebut untuk mengambil penumpang gelap.
Mengapa saya katakan praktik sarkawi ini bersifat sistemik?, seperti yang saya sebutkan di atas tadi bahwa praktik sarkawi ini melibatkan beberapa orang. Saya kira mustahil apabila tidak ada salah satu dari mereka yang terlibat. Pasti semuanya terlibat, karena praktik ini didukung oleh adanya niat dan kesempatan dari keempat orang tersebut (ini dia unsur yang paling penting, niat dan kesempatan).
Untuk mengetahui suatu persoalan kita bisa menggunakan prinsip 5W+1H untuk mencari tahu secara mendalam praktik sarkawi ini.
1. Apa itu Sarkawi?
2. Siapa yang terlibat di dalamnya?
3. Mengapa seseorang terlibat dalam praktek sarkawi?
4. Kapan praktik sarkawi ini bisa terjadi?
5. Di mana praktik Sarkawi ini biasa dan bisa ditemukan?
6. Lantas yang terakhir Bagaimana praktik sarkawi ini terjadi?
Dalam kesempatan ini saya coba untuk mencari tahu kelima jawaban tersebut. Untuk point 1&2 mungkin sudah terwkilkan jawabannya pada penjelasan di atas. Tambahan untuk point pertama, kalo boleh saya menjabarkan menurut pandangan saya pribadi bahwa sarkawi lebih merupakan perbuatan dan atau perilaku oknum calon penumpang dan atau penumpang yang dengan kondisi tertentu dan atau karena dilakukan secara sengaja dengan maksud mengambil keuntungan untuk ( dan hanya untuk ) dirinya sendiri dari sebuah PO bus yang ditumpangi/digunakannya dengan membeli dan atau memiliki tiket secara tidak resmi atapun melalui perantara calo dan melakukan perbuatan diluar ketentuan yang dibuat dan atau telah ditetapkan oleh PO bus.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan calon penumpang memilih menjadi sarkawi. Adanya tawaran yang cukup menggiurkan bahwa dengan harga di bawah harga tiket resmi seorang calon penumpang bisa mendapatkan fasilitas dari bus yang ditumpanginya. Misalnya saja, saya ambil contoh di daerah Pekalongan di mana praktik semacam ini lebih banyak terjadi. Seorang calon penumpang dengan berbagai tujuan di Sumatra maupun di berbagai kota di Jabodetabek memilih menjadi sarkawi demi mendapatkan fasilitas Bus Executif toilet seat 2-2 (bahkan jika sedang beruntung bisa dapat Evo bus, dan VIP 6 row seat) dengan membayar Rp. 40 ribu saja. Ada beberapa calon penumpang yang kebanyakan mereka sebagai pedagang kain ataupun barang dagangan lainnya memilih menggunakan armada bus dengan cara sarkawi dikarenakan mereka bisa lebih menghemat ongkos. Apabila para calon penumpang yang notabene para pedagang tersebut menggunakan moda transportasi lain, kereta api misalnya, tidak banyak yang mereka dapatkan selain menghemat ongkos, karena armada kereta api dirasakan kurang nyaman dan terlalu berdesakan, apalagi letak Pekalongan memang bukan stasiun awal keberangkatan kereta api yang menyebabkan kondisi kereta api sudah penuh dari stasiun pemberangkatan awal seperti Tawang Jaya dari Semarang misalnya. Ada juga calon penumpang yang memang di luar keadaan dan kondisinya (forje majeur) yang menyebabkan harus pulang ke jakarta lebih larut di atas jam 9 malam, sedangkan bus Pekalongan-Jakarta dari terminal pekalongan maupun agen sudah lebih dulu berangkat lebih awal pada jam 7-8 malam seperti Sinar Jaya, Dewi Sri, dan Kramat Djati.
Praktik Sarkawi lebih sering ditemukan ketika malam hari. Di Pekalongan sendiri aktifitas ini sudah mulai rame sejak pukul 20.00. Hingga larut malampun kadang masih ada saja yang berusaha menunggu bus untuk ke Jakarta. Untuk siang harinya saya belum mengetahunya secara pasti apakah memang ada atau tidak praktik sarkawi ini. Orang lebih senang memilih wakti pada malam hari (mungkin) dikarenakan suasananya yang memang sejuk tanpa harus berpanas-panas dengan teriknya mentari di siang hari, atau mungkin juga hanya untuk mengejar waktu bagi para pegawai kantoran untuk bisa lebih pagi sampai jakarta.
Praktik sarkawi banyak (biasa) ditemukan pada jalur-jalur yang terhitung tanggung (tidak terlalu dekat, namun tidak begitu jauh dari tujuan calon sarkawi) misalnya saja di Semarang yang nampaknya berpusat di daerah SPBU krapyak tepatnya setelah exit tol krapyak dimana bus timuran yang melalui jalur pantura pasti keluar melaluli tol ini. Ada juga di Pekalongan yang masih terhitung tempat tinggal saya sehingga bisa lebih sering melakukan observasi terhadap praktik sarkawi ini. Ada beberapa lokasi yang dijadikan para pelaku sarkawi di Pekalongan seperti misalnya di perempatan Pol Pos Ponolawen, tikungan jalan Selamet setelah RSUD Pekalongan, Pusri, wiradesa hingga sampai comal. Untuk jalur-jalur setelah lewat tegal biasanya hanya kurir barang yang menitipkan barangnya dan minta diantarkan barangnya sampai ke jakarta.
Praktik sarkawi dipicu karena adanya niat dan kesempatan dari para pelakunya. Tidak selalu oknum diluar PO yang menjadi pemicunya, kadang kala pengelolaan dari manajemen PO yang buruk juga seringkali menjadi penyebab praktik subur sarkawi ini. Tercatat beberapa oknum awak bus dari berbagai PO yang sempat tertangkap mata saat mengambil penumpang diluar ketentuan PO bus, antara lain : Santoso serie O, F dan Z, Handoyo, Safari, OBL, Selamet, Ramayana Palembang-Jambi, Mulyo Indah, Muncul dan bahkan beberapa pekan lalu sudah tercatat sebanyak 2 kali sebuah armada kargo nusantara sedang mengambil penumpang ataupun barang diluar tugas resminya.
Dalam praktik sarkawi ini saya melihat ada suatu hubungan simbiosis di antara keempat pemain seperti yang telah saya sebutkan di atas. Terdapat hubungan simbiosis komensalisme yang hampir mendekati hubungan simbiosis mutualisme dimana di antara satu dengan yang lainnya sama-sama memperoleh keuntungan dalam memuaskan kebutuhannya. Lantas bagaimana dengan pengusaha PO bus?, pihak yang satu ini wajib juga saya bahas dalam postingan ini, tanpa bermaksud mengurutkan PO dengan urutan yang kesekian karena yang terlibat langsung dalam praktik sarkawi ini adalah keempat orang tersebut di atas (semua keputusan maupun eksekutor dari niat dan kesempatan sarkawi berada pada keempat pelaku sarkawi tersebut) dan sangat jelas sekali terdapat hubungan simbiosis parasitisme antara pengusaha PO bus dengan para awak busnya, dimana pihak yang paling dirugikan dalam praktik sarkawi ini adalah para pengusaha PO bus. Hal ini tentunya harus mendapat perhatian secara serius dan bisa menganggap ini sebuah tamparan yang keras bagi para pengusaha PO bus untuk lebih bisa mengendalikan kelangsungan usaha dan pastinya untuk lebih memberikan kepuasan terhadap semua para pelanggannya.
Memang ini semua berujung pada kebutuhan, ini soal cari makan. Meminjam istillah dari salah satu teman BMC, bahwa sangat sulit menggabungkan dan menempatkan suatu ideallisme dan kebutuhan dalam satu wadah, niscaya semua itu tidak akan pernah matching atau berujung pada titik temu.
Entah siapa yang patut disalahkan dan siapa yang dikorbankan dan entah siapa yang memulainya sehingga praktik seperti ini bisa terjadi di dunia transportasi kita khususnya bus sebagai salah satu moda transportasi darat yang kita cintai/gilai/gemari, calon penumpang kah atau para awak busnya, atau memang salah seorang calo yang berusaha mengambil keuntungan dari praktik sarkawi ini. Wallahualam, semua berasal dan berawal dari individu masing-masing. Yang jelas sekali lagi saya katakan ini semua disebabkan oleh niat dan kesempatan.
Sebagai calon penumpang, tentunya kita menyadari konsekuensi dari praktik sarkawi, kita tidak akan mendapatkan klaim asuransi kecelakaan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan yang tidak menggunakan tiket secara resmi. Bagi para pengusaha PO bus, silahkan membenahi manajemen kalian sebaik mungkin, toh ini semua demi kelancaran usaha kalian dan dalam rangka memberikan pelayanan kepada para konsumennya. Bagi para awak bus, tentunya kalian juga sudah menyadari akan konsekuensi praktik sarkawi ini. Kalian tentunya akan terkena sanksi apabila praktik sarkawi yang kalian lakukan diketahui oleh PO kalian. Untuk calo, saya tidak terlalu banyak komentar karena ia hanyalah sebagai pihak ketiga yang berusaha mengambil keuntungan dari praktik sarkawi ini, namun bagaimanapun juga praktik sarkawi merupakan hal yang sangat tidak dibenarkan dan hal yang tidak bisa dibenarkan dipandang dari segi dan aspek manapun.
Mari kita koreksi diri kita masing-masing, sudah benarkan kita menempatkan diri kita pada tempat yang sebenarnya???. Akhirul kalam, Wassalam wr. wb
Salam hangat para pecinta bus,
NB: Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman saya beberapa waktu lalu yang telah beberapa kali berubah wujud dan memakai topeng sarkawi menuju jakarta saat masih PP-Jkt-Pekalongan-jkt. Artikel ini ditujukan bagi para pembacanya agar sekiranya bisa mengetahui, memahami, dan ikut merasakan fenomena sarkawi dan juga tentunya didekasikan kepada para pengusaha PO bus untuk lebih meningkatkan pelayanan dan kualitas manajemennya. Segala yang berhubungan dengan disebutnya nama PO dan atau informasi yang kurang berkenan saya mohon maaf, artikel ini tidak lain hanya bersifat informatif saja bagi yang membaca, menyimak dan meresponnya. Terima kasih.
Tercatat beberapa P.O bus yang pernah saya pakai antara lain : Haryanto, Shantika, Sinar Jaya, Muji Jaya, OBL Safari Dharma Raya, Handoyo, Santoso, Dewi Sri, Sri Maju Prima, Harta Sanjaya, Tri Sumber Urip, Ramayana, COyo, Nusantara, Bejeu, Senja Furnindo, Safari, Selamet, Mulyo Indah,Tegal Indah, dan Bonanza
Ada hal yang menarik ketika saya mendengar salah satu istilah yang dalam dunia perbisan disebut dengan sebutan Sarkawi. Ya Sarkawi, adalah sebutan bagi para penumpang ilegal yang tidak memiliki dan atau membeli tiket secara resmi baik melalui agen ataupun calo.
Belum ada catatan pasti bagaimana Sarkawi ini terjadi, namun ada satu sumber artikel yang pernah saya baca melalui portal Bismania.com yang membahas mengenai Sarkawi.
Terjadi pada awal taun '80an tepatnya di Jalinsum ( Jalur Lintas Sumatra )dimana pada Jalinsum masih sepi kendaraan yang lalu lalang baik kendaraan lokal maupun kendaraan yang datang dari pulau jawa, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti bis AKAP. Alkisah konon katanya menurut sumber tersebut pada zaman itu ada sebuah Bus AKAP dari pulau jawa yang hendak menuju Aceh. Di tengah perjalanan Bus tersebut mengalami kerusakan yang tidak bisa diperbaiki dalam waktu singkat. Dan seperti kita ketahui pada era '80an kondisi Jalinsum masih sangat sepi dan harus menunggu beberapa rombongan bus yang melalui jalur yang sama untuk dapat meneruskan perjalanan dikarenakan Jalur Lintas sumatra masih sangat rawan perampokan dan penjegalan untuk dilalui oleh hanya satu kendaraan tanpa ada rombongan yang menyertainya. Pada waktu itu salah seorang penumpang yang nampaknya tidak bisa menunggu lama meminta awak bus untuk pindah ke armada bus lain yang kebetulan melintas. Pada saat yang bersamaan datang bus AKAP, dan akhirnya ia menumpang bus AKAP tersebut. Dikarenakan pada saat itu PO bus tidak memberlakukan kontrol tiket di beberapa pos kontrol secara ketat akhirnya penumpang tersebut lolos hingga sampai di kota tujuannya itu tanpa diketahui oleh pihak PO. Nama penumpang gelap tersebut diketahui bernama Pak Sarkawi hingga terkenal sampai sekarang.
Praktik Sarkawi tidaklah selalu membicarakan orang yang melakukan ataupun terlibat dalam praktik Sarkawi. Jika saya perhatikan lebih mendalam dan mendasar, praktik Sarkawi ini lebih merupakan suatu perbuatan/perilaku orang yang melakukannya (baca: bukan orangya). Mengapa? karena praktik sarkawi merupakan praktik yang sifatnya sistemik dan melibatkan kerjasama beberapa orang. Adapun pihak yang terlibat antara lain :
1. Driver (engkel maupun dengan 2 driver), dialah sebagai peran utama dalam praktik sarkawi ini, karena ia yang memegang penuh kendali bus. Lain dengan moda transportasi kereta api yang mempunyai seorang petugas pemimpin perjalanan dimana masinis hanya sebagai eksekutor seorang pemimpin perjalanan (kebetulan paman saya seorang pensiunan PJKA di Cirebon).
2. Kernet, dialah yang membantu seorang supir dalam melancarkan praktik sarkawi
3. Calon Penumpang, yang satu ini seringkali menjadi korban dengan sebutan sarkawi
4. Yang terakhir adalah Calo (optional), apabila praktik sarkawi ini difasilitasi dan atau di-perantara-i oleh seorang calo. Biasanya calo inilah yang membantu para calon sarkawi dalam mencarikan bus. Biasanya antara awak bus dengan calo sudah saling kenal satu sama lain dan kepercayaan seorang driver biasanya berujung pada calo tersebut untuk mengambil penumpang gelap.
Mengapa saya katakan praktik sarkawi ini bersifat sistemik?, seperti yang saya sebutkan di atas tadi bahwa praktik sarkawi ini melibatkan beberapa orang. Saya kira mustahil apabila tidak ada salah satu dari mereka yang terlibat. Pasti semuanya terlibat, karena praktik ini didukung oleh adanya niat dan kesempatan dari keempat orang tersebut (ini dia unsur yang paling penting, niat dan kesempatan).
Untuk mengetahui suatu persoalan kita bisa menggunakan prinsip 5W+1H untuk mencari tahu secara mendalam praktik sarkawi ini.
1. Apa itu Sarkawi?
2. Siapa yang terlibat di dalamnya?
3. Mengapa seseorang terlibat dalam praktek sarkawi?
4. Kapan praktik sarkawi ini bisa terjadi?
5. Di mana praktik Sarkawi ini biasa dan bisa ditemukan?
6. Lantas yang terakhir Bagaimana praktik sarkawi ini terjadi?
Dalam kesempatan ini saya coba untuk mencari tahu kelima jawaban tersebut. Untuk point 1&2 mungkin sudah terwkilkan jawabannya pada penjelasan di atas. Tambahan untuk point pertama, kalo boleh saya menjabarkan menurut pandangan saya pribadi bahwa sarkawi lebih merupakan perbuatan dan atau perilaku oknum calon penumpang dan atau penumpang yang dengan kondisi tertentu dan atau karena dilakukan secara sengaja dengan maksud mengambil keuntungan untuk ( dan hanya untuk ) dirinya sendiri dari sebuah PO bus yang ditumpangi/digunakannya dengan membeli dan atau memiliki tiket secara tidak resmi atapun melalui perantara calo dan melakukan perbuatan diluar ketentuan yang dibuat dan atau telah ditetapkan oleh PO bus.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan calon penumpang memilih menjadi sarkawi. Adanya tawaran yang cukup menggiurkan bahwa dengan harga di bawah harga tiket resmi seorang calon penumpang bisa mendapatkan fasilitas dari bus yang ditumpanginya. Misalnya saja, saya ambil contoh di daerah Pekalongan di mana praktik semacam ini lebih banyak terjadi. Seorang calon penumpang dengan berbagai tujuan di Sumatra maupun di berbagai kota di Jabodetabek memilih menjadi sarkawi demi mendapatkan fasilitas Bus Executif toilet seat 2-2 (bahkan jika sedang beruntung bisa dapat Evo bus, dan VIP 6 row seat) dengan membayar Rp. 40 ribu saja. Ada beberapa calon penumpang yang kebanyakan mereka sebagai pedagang kain ataupun barang dagangan lainnya memilih menggunakan armada bus dengan cara sarkawi dikarenakan mereka bisa lebih menghemat ongkos. Apabila para calon penumpang yang notabene para pedagang tersebut menggunakan moda transportasi lain, kereta api misalnya, tidak banyak yang mereka dapatkan selain menghemat ongkos, karena armada kereta api dirasakan kurang nyaman dan terlalu berdesakan, apalagi letak Pekalongan memang bukan stasiun awal keberangkatan kereta api yang menyebabkan kondisi kereta api sudah penuh dari stasiun pemberangkatan awal seperti Tawang Jaya dari Semarang misalnya. Ada juga calon penumpang yang memang di luar keadaan dan kondisinya (forje majeur) yang menyebabkan harus pulang ke jakarta lebih larut di atas jam 9 malam, sedangkan bus Pekalongan-Jakarta dari terminal pekalongan maupun agen sudah lebih dulu berangkat lebih awal pada jam 7-8 malam seperti Sinar Jaya, Dewi Sri, dan Kramat Djati.
Praktik Sarkawi lebih sering ditemukan ketika malam hari. Di Pekalongan sendiri aktifitas ini sudah mulai rame sejak pukul 20.00. Hingga larut malampun kadang masih ada saja yang berusaha menunggu bus untuk ke Jakarta. Untuk siang harinya saya belum mengetahunya secara pasti apakah memang ada atau tidak praktik sarkawi ini. Orang lebih senang memilih wakti pada malam hari (mungkin) dikarenakan suasananya yang memang sejuk tanpa harus berpanas-panas dengan teriknya mentari di siang hari, atau mungkin juga hanya untuk mengejar waktu bagi para pegawai kantoran untuk bisa lebih pagi sampai jakarta.
Praktik sarkawi banyak (biasa) ditemukan pada jalur-jalur yang terhitung tanggung (tidak terlalu dekat, namun tidak begitu jauh dari tujuan calon sarkawi) misalnya saja di Semarang yang nampaknya berpusat di daerah SPBU krapyak tepatnya setelah exit tol krapyak dimana bus timuran yang melalui jalur pantura pasti keluar melaluli tol ini. Ada juga di Pekalongan yang masih terhitung tempat tinggal saya sehingga bisa lebih sering melakukan observasi terhadap praktik sarkawi ini. Ada beberapa lokasi yang dijadikan para pelaku sarkawi di Pekalongan seperti misalnya di perempatan Pol Pos Ponolawen, tikungan jalan Selamet setelah RSUD Pekalongan, Pusri, wiradesa hingga sampai comal. Untuk jalur-jalur setelah lewat tegal biasanya hanya kurir barang yang menitipkan barangnya dan minta diantarkan barangnya sampai ke jakarta.
Praktik sarkawi dipicu karena adanya niat dan kesempatan dari para pelakunya. Tidak selalu oknum diluar PO yang menjadi pemicunya, kadang kala pengelolaan dari manajemen PO yang buruk juga seringkali menjadi penyebab praktik subur sarkawi ini. Tercatat beberapa oknum awak bus dari berbagai PO yang sempat tertangkap mata saat mengambil penumpang diluar ketentuan PO bus, antara lain : Santoso serie O, F dan Z, Handoyo, Safari, OBL, Selamet, Ramayana Palembang-Jambi, Mulyo Indah, Muncul dan bahkan beberapa pekan lalu sudah tercatat sebanyak 2 kali sebuah armada kargo nusantara sedang mengambil penumpang ataupun barang diluar tugas resminya.
Dalam praktik sarkawi ini saya melihat ada suatu hubungan simbiosis di antara keempat pemain seperti yang telah saya sebutkan di atas. Terdapat hubungan simbiosis komensalisme yang hampir mendekati hubungan simbiosis mutualisme dimana di antara satu dengan yang lainnya sama-sama memperoleh keuntungan dalam memuaskan kebutuhannya. Lantas bagaimana dengan pengusaha PO bus?, pihak yang satu ini wajib juga saya bahas dalam postingan ini, tanpa bermaksud mengurutkan PO dengan urutan yang kesekian karena yang terlibat langsung dalam praktik sarkawi ini adalah keempat orang tersebut di atas (semua keputusan maupun eksekutor dari niat dan kesempatan sarkawi berada pada keempat pelaku sarkawi tersebut) dan sangat jelas sekali terdapat hubungan simbiosis parasitisme antara pengusaha PO bus dengan para awak busnya, dimana pihak yang paling dirugikan dalam praktik sarkawi ini adalah para pengusaha PO bus. Hal ini tentunya harus mendapat perhatian secara serius dan bisa menganggap ini sebuah tamparan yang keras bagi para pengusaha PO bus untuk lebih bisa mengendalikan kelangsungan usaha dan pastinya untuk lebih memberikan kepuasan terhadap semua para pelanggannya.
Memang ini semua berujung pada kebutuhan, ini soal cari makan. Meminjam istillah dari salah satu teman BMC, bahwa sangat sulit menggabungkan dan menempatkan suatu ideallisme dan kebutuhan dalam satu wadah, niscaya semua itu tidak akan pernah matching atau berujung pada titik temu.
Entah siapa yang patut disalahkan dan siapa yang dikorbankan dan entah siapa yang memulainya sehingga praktik seperti ini bisa terjadi di dunia transportasi kita khususnya bus sebagai salah satu moda transportasi darat yang kita cintai/gilai/gemari, calon penumpang kah atau para awak busnya, atau memang salah seorang calo yang berusaha mengambil keuntungan dari praktik sarkawi ini. Wallahualam, semua berasal dan berawal dari individu masing-masing. Yang jelas sekali lagi saya katakan ini semua disebabkan oleh niat dan kesempatan.
Sebagai calon penumpang, tentunya kita menyadari konsekuensi dari praktik sarkawi, kita tidak akan mendapatkan klaim asuransi kecelakaan apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam perjalanan yang tidak menggunakan tiket secara resmi. Bagi para pengusaha PO bus, silahkan membenahi manajemen kalian sebaik mungkin, toh ini semua demi kelancaran usaha kalian dan dalam rangka memberikan pelayanan kepada para konsumennya. Bagi para awak bus, tentunya kalian juga sudah menyadari akan konsekuensi praktik sarkawi ini. Kalian tentunya akan terkena sanksi apabila praktik sarkawi yang kalian lakukan diketahui oleh PO kalian. Untuk calo, saya tidak terlalu banyak komentar karena ia hanyalah sebagai pihak ketiga yang berusaha mengambil keuntungan dari praktik sarkawi ini, namun bagaimanapun juga praktik sarkawi merupakan hal yang sangat tidak dibenarkan dan hal yang tidak bisa dibenarkan dipandang dari segi dan aspek manapun.
Mari kita koreksi diri kita masing-masing, sudah benarkan kita menempatkan diri kita pada tempat yang sebenarnya???. Akhirul kalam, Wassalam wr. wb
Salam hangat para pecinta bus,
NB: Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman saya beberapa waktu lalu yang telah beberapa kali berubah wujud dan memakai topeng sarkawi menuju jakarta saat masih PP-Jkt-Pekalongan-jkt. Artikel ini ditujukan bagi para pembacanya agar sekiranya bisa mengetahui, memahami, dan ikut merasakan fenomena sarkawi dan juga tentunya didekasikan kepada para pengusaha PO bus untuk lebih meningkatkan pelayanan dan kualitas manajemennya. Segala yang berhubungan dengan disebutnya nama PO dan atau informasi yang kurang berkenan saya mohon maaf, artikel ini tidak lain hanya bersifat informatif saja bagi yang membaca, menyimak dan meresponnya. Terima kasih.
Langganan:
Postingan (Atom)