Rolling text
Senin, 14 Februari 2011
Lika Liku PPN mobkas
Dasar pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan kendaraan bermotor bekas telah berubah beberapa kali. Mulai dari penggunaan mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) harga jual, kemudian berganti dengan DPP nilai lain, hingga kemudian kembali diubah dengan menggunakan harga jual. Meski kembali ke harga jual, mekanisme penghitungan PPN yang wajib disetor tidak menggunakan mekanisme normal, melainkan menggunakan pedoman Penghitungan Pengkreditan (Deemed) Pajak masukan.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan Zaman, usaha perdagangan kendaraan bermotor bekas sekarang ini dinilai cukup menjanjikan. Hal ini terjadi karena tingkat kebutuhan masyarakat akan kendaraan bermotor kian lama kian meningkat. Ya, memiliki kendaraan pribadi saat ini bukan semata-mata untuk prestise atau kebanggaan saja.
Apalagi, jika melihat ketersediaan sarana transportasi umum yang kurang memadai, membuat sebagian orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Inilah yang kemudian mendorong orang untuk memiliki kendaraan pribadi, baik dengan cara membeli kendaraan bermotor baru ataupun kendaraan bermotor bekas, toh manfaatnya sama saja.
Membeli kendaraan secondhand adalah salah satu cara untuk memperoleh kendaraan yang bagus namun murah. Para pengusaha melihat adanya peluang besar di bisnis ini,sehingga usaha jual beli kendaraan bermotor bekas pun banyak bermunculan. Ada banyak pedagang kendaraan bermotor bekas yang dapat kita temui di jakarta, seperti di kawasan kemayoran,kelapa gading, Mangga Dua, atau di bilangan fatmawati.
Tetapi sadarkah anda, meski ada membeli kendaraan bekas, tetap ada PPN-nya? Benarkah kendaraan montor beas adalah Barang kena pajak (BKP)? Apa dasar hukum yang terkait dengan pengenaan PPN terhadap kegiatan jual beli kendaraan bermotor bekas? Untuk memenuhi rasa ingin tahu pembaca mengenai hal ini, tulisan ini akan mengurai jawaban dari sejumlah pertanyaan di atas.
Pernah Tidak Kena PPN
Bila kita merunut perjalanan Undang -undang (UU)PPN sejak tahun 1983 (UU Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak penjualan atas Barang Mewah) hingga kini, kita bisa menemukan jejak pengenaan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas. Objek PPN yang satu ini mulai dipungut sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1994 yang merupakan amendemen pertama UU PPN.
Ketika UU Nomor 8 tahun 1983 masih berlaku ,PPN memang tidak dikenakan atas penyerahan kenderaan bermotor bekas kepada konsumen. Hal ini dikarenakan sempitnya ruang lingkup penyerahan BKP yang diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1983 ini. Penyerahan BKP hanya dapat dikenakan PPN sepanjang penyerahan tersebut di lakukan oleh pengusaha yang memenuhi kriteria saja.
Oleh karena itu, penyerahan kendaraan bermontor bekas di awal pemberlakuan PPN tidak termasuk sebagai penyerahan BKP yang terutang PPN. Pasalnya, pedagang yang menjual kendaraan bermontor bekas, bukan merupakan pengusaha yang menghasilkan BKP atau bukan pula pengusaha yang bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama. Di sini, dapat dikatakan bahwa pedagang kendaraan bermotor bekas sama dengan pedagang eceran.
Kemudian setelah dilakukan amendemen pertama UU PPN,yakni diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1994, Objek PPN tidak hanya terbatas pada penyerahan BKP yang terjadi karena adanya kegiatan penyerahan langsung dari pihak yang menghasilkan BKP atau impor BKP. Akan tetapi, meliputi pula penyerahan BKP yang di lakukan oleh pengusaha, baik yang berkaitan langsung dengan kegiatan usahanya ataupun tidak.
Dengan tidak adanya batasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan perdagangan kendaraan bermontor bekas merupakan salah satu penyerahan BKP yang terutang PPN. Dengan demikian, sejak diberlakukannya UU Nomor 11 Tahun 1994, pedagang kendaraan bermotor bekas harus memungut PPN kepada konsumen atas kegiatan tersebut.
Hingga saat ini, meskipun telah dilakukan amendemen UU PPN untuk ketiga kalinya (UU No. 11 Tahun 1994, UU No. 18 tahun 2000, dan UU No. 42 tahun 2009), tidak ada lagi perubahan terkait dengan ruang lingkup Objek PPN atas penyerahan BKP (lihat gambar terlampir).
Mekanisme Pengenaan PPN
Sejak kendaraan bermotor bekas diberlakukan sebagai objek PPN per Januari 1995, maka pengusaha kendaraan bermotor bekas harus memungut PPN yang terutang sebesar DPP sesuai harga jual dikali dengan tarif 10%. Kemudian, PPN yang harus disetor ke kas negara oleh PKP pedagan kendaraan bermotor bekas dihitung dengan menggunakan mekanisme credit methode atau mekanisme Pajak Keluaran dikurang Pajak Masukan (PK-PM). Melalui mekanisme PK-PM ini, pengusaha dapat mengkreditkan seluruh nilai Pajak Masukan yang berkaitan dengan semua kegiatan usaha terhadap pajak keluaran, untuk menentukan besarnya PPN yang disetorkan ke negara.
Penggunaan dasar pengenaan PPN sesuai harga jual mulai diberlakukan sejak 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2000 atau lebih tepatnya diberlakukan hingga terbit KMK Nomor: 567/KMK.04/2000. Ketika KMK tersebut diberlakukan, yakni pada 1 Januari 2001 bersamaan dengan UU nomor 18 Tahun 2000 mulai diberlakukan terdapat perubahan besarnya DPP untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas. Dari sebelumnya menggunakan harga jual, kemudian diubah menjadi nilai lain.
Nilai lain yang dijadikan sebagai DPP PPN secara jelas diatur dalam KMK Nomor 567/KMK.04/2000. Dalam Pasal 2 dalam KMK tersebut dinyatakan, bahwa nilai lain untuk kendaraan bermotor bekas adalah sebesar 10% dari harga jual.
Dengan kata lain, besarnya PPN yang dibebankan pada konsumen hanya sebesar 1% dan PKP juga harus menyetorkan PPN yang telah dipungutnya kepada negara sebesar 1%. akibat diberlakukannya nilai lain ini, pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat dikreditkan, karena dalam nilai lain tersebut telah memperhitungkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka usaha tersebut.
Nilai lain yang digunakan untuk menghitung DPP PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas berlaku sampai dengan terbitnya PMK Nomor :79/PMK/.03/2010. Sejak PMK tersebut mulai diberlakukan per 1 April 2010, mekanisme DPP nilai lain tidak lagi digunakan.
PMK Nomor: 79/PMK.03/2010 mengatur bahwa DPP yang digunakan pengusaha kendaraan bermotor bekas yang dalam PMK tersebut dinyatakan sebagai pengusaha yang menjalankan kegiatan usaha tertentu kembali menggunakan nilai harga jual kendaraan bermotor bekas.
Berdasarkan PMK tersebut, Pajak Masukan dari hasil perolehan kendaraan bermotor bekas dan terkait dengan kegiatan usaha dapat dikreditkan untuk menghitung besarnya PPN yang harus disetor ke negara. Namun, besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan tidak sama dengan ketika penghitungan PPN menggunakan mekanisme PK-PM sesuai UU Nomor 11 Tahun 1994, karena dalam periode kali ini Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan atau biasa dikenal dengan Deemed Pajak Masukan.
Dalam PMK nomor:79/PMK.03/2010, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan telah di-Deemed, yakni sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetorkan oleh pengusaha ke kas negara adalah sebesar 10% dari Pajak Keluarannya.
Dengan adanya perubahan dalam penetapan DPP, yaitu dari nilai lain ketika masih menggunakan KMK Nomor 567/KMK.04/2000, menjadi harga jual sesuai PMK Nomor:79/PMK/2010, maka besarnya PPN terutang yang dibebankan kepada konsumen pun akan berubah. Untuk lebih jelasnya lihat contoh di bawah :
Perbandingan antara DPP nilai lain dengan DPP Harga Jual
PT. HAN Motor, dealer mobil bekas menjual sedan BMW 318i tahun 2007. Harga jual mobil tersbut sebesar Rp. 80.000.000,00. PPN terutangnya adalah sbb.;
Jawab :
Penghitungan PPN atas penyerahan kendaraan motor bekas berdasarkan :
a. Nilai lain sesuai PMK nomor 567/KMK.04/2000
DPP = Nilai Lain
= 10% x Harga Jual
= 10% x Rp. 80.000.000,000
= Rp. 8.000.000,00
Maka PPN yang harus dibayarkan oleh pembeli kendaraan bermotor bekas adalah sebesar :
PPN = 10% x Rp. 8.000.000,00
= Rp. 800.000,00
b. Harga jual kendaraaan bermotor bekas sesuai dengan PMK Nomor: 79/KMK.03/2010
DPP = Harga Jual
= Rp. 80.000.000,00
Maka PPN yang harus dibayarkan oleh konsumen atas pembelian kendaraan bermotor bekas dari PKP sebesar :
PPN = 10% x Rp. 80.000.000,00
= Rp. 8.000.000,00
Jika kita lihat dan perhatikan perhitungan di atas, sangat jauh sekali selisih/perbedaannya bukan. Tentu perbedaaan ini akan mempengaruhi besarnya PPN yang harus dikeluarkan oleh pembeli dan PPN yang disetor oleh PKP penjual kendaraan bermotor bekas ke negara. Jika menggunakan DPP nilai lain, konsumen lah yang diuntungkan karena pembebanan pajaknya hanya 1% dari harga jual. Sementara penjual kendaraan bermotor bekas tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas penyerahan kendaraan bermotor bekas yang ia jual.
Sedangkan jika DPP ditentukan dari harga jual, maka beban paling besar dipikul oleh pembeli kendaraaan bermotor bekas yang mencapai 90% lebih tinggi, yaitu sebesar 10% dari harga jual dalam perolehan kendaraan bermotor bekas. Sementara itu, pengusaha kendaraan bermotor bekas akan menikmati keuntungan sebesar 90% dari Pajak Keluaran. Penerapan aturan ini sangat terasa oleh pengusaha kendaraaan bermotor bekas karena Pajak Masukan yang berkaitan dengan kegiatan usaha dapat dikreditkan guna menentukan besaran PPN yang akan disetor ke kas negara.
Dengan semakin tinggi PPN yang dibebankan kepada konsumen, maka akan semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk memperoleh kendaraan bermotor bekas idamannya. Dengan demikian, ada baiknya juga pengusaha kendaraan bermotor bekas mengakali dalam hal penetapan harga jualnua agar konsumen tidak terlalu berat dengan besarnya PPN yang dibebankan kepadanya. Mungkin bisa disarankan kepada PKP penjual kendaraan bermotor bekas dapat mengakali harga jual kendaraan bermotor bekasnya sudah termasuk PPN.
Penutup
Tingkat kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi di Ibukota jakarta pada khususnya semakin hari semakin meningkat. Sarana transportasi yang disediakan pemerintah pun nampaknya tidak bisa memenuhi kebutuhan akan kenyamanan dan keamanan para pengguna jasa transportasi. Ditambah lagi pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi tidak selaju dengan perluasan median jalan di Ibukota yang hanya sebesar 1% per tahunnya.
Jika pada tahun 1995 mekanisme pengenaan PPN untuk kendaraan bermotor bekas menggunakan mekanisme PPN normal, maka setelah diberlakukannya KMK Nomor 567/PMK.04/2000, PPN dihitung dengan menggunakan mekanisme nilai lain. Kini KMK nomor 567/PMK.04/2000 telah digantikan dengan PMK nomor: 79/PMK.03/2010 dimana PPN yang berlaku atas penyerahan kendaraan bermotor bekas adalah mekanisme Deemed Pajak Masukan.
Jika ditilik, diteliti, dan diamati lebih lanjut mengenai perubahan peraturan ini nampaknya aturan ini diberlakukan untuk mengurangi kemacetan akibat penggunaan kendaraan pribadi yang begitu besar jumlahnya.
Ya memang sebuah kebijakan pasti menuai pro dan kontra, tergantung bagaimana kebijakan itu terbentuk dan bagaimana kita menyikapinya? bagi pengguna jasa transportasi umum, akankah tetap menggunakan sarana transportasi umum yang sangat jauh dari nyaman dan aman, ataukah beralih menggunakan kendaraan pribadi, baik beli secara bekas maupun baru? sebaliknya, bagi yang ingin membeli kendaraan bermotor bekas konsekuensinya anda harus membayar lebih PPN lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya ataukah beralih menggunakan sarana transportasi umum seperti Busway misalnya? eehheemmmmm...... itu tergantung pilihan anda.
Salam hangat,
Uge Kurniawan
Sebagian artikel dikutip dari : ITR Magazine Volume III/edisi 20/2010
Langganan:
Postingan (Atom)